Bloggues.com, 'Tutup' cuma itu tulisan di depan pintu masuk gerai 7-Eleven dekat Stasiun Kereta Tebet, Jl KH. Abdullah Syafei, Tebet Timur, Tebet, Jakarta Selatan. Tempat parkir sepi. Tampak beberapa motor tukang ojek pangkalan diparkir sebentar lalu pergi lagi.
Beberapa mesin ATM di samping tempat konsumen biasa duduk, tak satupun menyala. Sevel tak lagi meriah.
Mereka yang melintas pun demikian. Beberapa orang yang lewat, sempat menekuri sejenak deretan huruf 'Tutup' berwarna biru dan hitam, mengecek sebentar ke tempat yang biasanya penuh meja kursi untuk pelanggan, lalu beranjak sambil melihat ponselnya.
"Sudah mau seminggu tutupnya," ungkap Kinoy, pengamen yang sering mangkal di Sevel, ketika ditemui merdeka.com, di Gerai Seven Eleven Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (28/6).
Dia mengatakan sudah sering mencari uang di Sevel, baik mengamen atau sebagai juru parkir. Karena itu, untuknya, persoalannya bukan sekedar Sevel tutup, melainkan ada yang jauh lebih runyam. Ada yang kurang dari mata pencahariannya.
"Pokoknya berubah lah. Biasanya kita disini ngamen, makan disini, tidur disini, nyari uang disini, semuanya disini," ujar Kinoy.
Dia pun mengisahkan punya hubungan yang akrab dengan semua pegawai di Sevel. Dia dan teman-teman sesama pengamen selalu diberi ruang untuk mengamen.
"Ya. Yang penting kita tak bikin keributan, mengganggu pelanggan sini. Kita sama-sama bikin aturan, boleh masuk, tapi 15 menit sekali. Pelayannya juga ramah sama kita, kita juga begitu. Biar sama-sama enak gitu," katanya.
"Enak aja bang ngamen di sini," timpal Rifky, rekan Kinoy.
"Memang sih. Kita nyari duit tidak cuma di Sevel aja. Cuma, di sini lebih pasti. Sekali masuk (mengamen), bisa Rp 15.000, Rp 20.000. Pokoknya kita ngerasa sedih, ngerasa beda saja sih Sevel sudah tutup," pungkas Kinoy.
Kabar matinya Sevel juga berdampak pada para pelanggan setia, salah satunya Dewi. Dia mengaku sudah mendengar kabar bisnis Sevel ambruk.
Dewi mengaku tak terlalu memusingkan apa latar belakangnya. Dia cuma berpikir harus nongkrong dimana lagi.
"Iya (sudah dengar kabar sevel akan ditutup). Tidak tahu sih harus mainnya kemana. Biasanya disini doang. Seminggu sekali pasti kesini kan, ketemu teman, ngopi bareng. Tidak tahu aja nanti kemana," Dewi bercerita sambil menyeruput minuman di tangannya.
"Ya sayang sih (Sevel ditutup). Kan disini enak kan bisa Ngadem. Kalau kita turun dari Busway mau ke stasiun di sini dulu, dari stasiun juga gitu. Pokoknya udah kayak tempat transit lah," tambahnya.
Ada apa dengan Sevel di Indonesia?
Sejak kesepakatan penjualan gerai franchise ini kepada PT Charoen Phokphand Restu Indonesia batal, PT. Modern Sevel Indonesia bakal menutup seluruh gerai convenience store 7-Eleven di Indonesia. Penutupan gerai ini akan dilakukan pada 30 Juni 2017. Pengumuman resmi pun telah disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Jumat (23/6).
"Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai 7-Eleven setelah rencana transaksi material atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience store oleh Charoen Phokphand Restu Indonesia mengalami pembatalan," tulis manajemen Modern Internarional dalam suratnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, menilai tutupnya seluruh gerai convenience store 7-Eleven (Sevel) di Indonesia adalah sesuatu yang pasti terjadi. Menurutnya, dalam bisnis, pasti ada yang bertahan hidup dan tutup.
"Tutupnya Sevel adalah merupakan suatu keniscayaan yang bisa terjadi kepada siapa saja," kata Roy kepada Merdeka.com, Jakarta
"Sevel tidak lulus ujian, harus tutup. Aprindo melihatnya sebagai sesuatu yang dapat terjadi kepada siapa saja," tambahnya.
Roy mengatakan ada dua faktor besar penyebab PT Modern International Tbk tidak bisa mempertahankan keberadaan semua gerai convenience store 7-Eleven (Sevel) di Indonesia. Sekitar 133 gerai Sevel yang tersebar di Jabodetabek, kata Roy, terpaksa tutup karena faktor internal dan faktor eksternal.
"Kalau kita lihat secara dalam, yang menyebabkan dari faktor internal adalah karena pada saat bersamaan waktu penyewaan toko-toko habis selama lima tahun. Otomatis pendapatan kurang dari pengeluaran," kata Roy, kepada Merdeka.com, Jakarta.
Pengeluaran yang meningkat, kata Roy, menjadi beban internal. Apalagi kondisi saat ini industri ritel di Indonesia sedang terpuruk.
"Karena memang situasi saat ini industri ritel dalam kondisi under perform," ujarnya.
Selain hal-hal tersebut, Roy juga memaparkan faktor eksternal yang menjadi penyebab bangkrutnya Sevel. Diantaranya adalah faktor regulasi dari pemerintah yang tidak mendukung berkembangnya bisnis Sevel di Indonesia.
"Sevel memang belum didukung perizinan yang memadai, di mana mereka masih berkutat di Jakarta saja," ungkapnya.
Padahal, jika pemerintah bisa merevisi izin usaha untuk Sevel bisa membuat bisnis tersebut berkembang dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain. Mengingat umur Sevel di Indonesia yang sudah mencapai lebih dari lima tahun.
"Otomatis mereka tidak bisa berkembang," pungkasnya.
Angoota dewan juga mempunyai analisa mengapa Sevel di Indonesia menemui senjakala. Salah satunya akibat kesalahan manajerial.
Silakan lanjutkan membaca di halaman berikutnya
"Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai 7-Eleven setelah rencana transaksi material atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience store oleh Charoen Phokphand Restu Indonesia mengalami pembatalan," tulis manajemen Modern Internarional dalam suratnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, menilai tutupnya seluruh gerai convenience store 7-Eleven (Sevel) di Indonesia adalah sesuatu yang pasti terjadi. Menurutnya, dalam bisnis, pasti ada yang bertahan hidup dan tutup.
"Tutupnya Sevel adalah merupakan suatu keniscayaan yang bisa terjadi kepada siapa saja," kata Roy kepada Merdeka.com, Jakarta
"Sevel tidak lulus ujian, harus tutup. Aprindo melihatnya sebagai sesuatu yang dapat terjadi kepada siapa saja," tambahnya.
Roy mengatakan ada dua faktor besar penyebab PT Modern International Tbk tidak bisa mempertahankan keberadaan semua gerai convenience store 7-Eleven (Sevel) di Indonesia. Sekitar 133 gerai Sevel yang tersebar di Jabodetabek, kata Roy, terpaksa tutup karena faktor internal dan faktor eksternal.
"Kalau kita lihat secara dalam, yang menyebabkan dari faktor internal adalah karena pada saat bersamaan waktu penyewaan toko-toko habis selama lima tahun. Otomatis pendapatan kurang dari pengeluaran," kata Roy, kepada Merdeka.com, Jakarta.
Pengeluaran yang meningkat, kata Roy, menjadi beban internal. Apalagi kondisi saat ini industri ritel di Indonesia sedang terpuruk.
"Karena memang situasi saat ini industri ritel dalam kondisi under perform," ujarnya.
Selain hal-hal tersebut, Roy juga memaparkan faktor eksternal yang menjadi penyebab bangkrutnya Sevel. Diantaranya adalah faktor regulasi dari pemerintah yang tidak mendukung berkembangnya bisnis Sevel di Indonesia.
"Sevel memang belum didukung perizinan yang memadai, di mana mereka masih berkutat di Jakarta saja," ungkapnya.
Padahal, jika pemerintah bisa merevisi izin usaha untuk Sevel bisa membuat bisnis tersebut berkembang dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain. Mengingat umur Sevel di Indonesia yang sudah mencapai lebih dari lima tahun.
"Otomatis mereka tidak bisa berkembang," pungkasnya.
Angoota dewan juga mempunyai analisa mengapa Sevel di Indonesia menemui senjakala. Salah satunya akibat kesalahan manajerial.
Silakan lanjutkan membaca di halaman berikutnya
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi PDIP, Darmadi Durianto, mengatakan jatuhnya Sevel lebih disebabkan oleh kesalahan manajemen dan kebijakan internal yang tidak mampu bertahan dalam situasi bisnis di Indonesia.
"Jadi, ambruknya Sevel murni kesalahan internal manajemennya sendiri," jelasnya kepada merdeka.com, di Jakarta.
Tutupnya gerai Sevel, lanjutnya, disebabkan konsep dan strategi bisnis yang salah. Dia bahkan menyebut konsep bisnis yang diterapkan sevel sudah usang. "Konsep yang ditawarkan oleh Sevel sudah usang dalam 2 tahun terakhir, yaitu memadukan konsep berbelanja sambil nongkrong," ungkapnya.
Strategi Sevel inilah yang menurutnya menjadi bumerang untuk pertumbuhan bisnis mereka sendiri. "Konsep dianggap baru pada saat itu, tapi ternyata konsumen maunya nongkrong lama dan belinya dengan harga murah," katanya.
"Padahal Sevel tidak mungkin berkompetisi dengan harga murah karena tidak bisa efisien seperti pesaing utama lainnya," tambahnya.
Dia juga mengatakan Sevel seharusnya sudah mencari strategi bisnis baru, bukannya bertahan pada konsep lama, yang menurutnya jelas-jelas berdampak negatif untuk perkembangan usaha.
"Jadi Sevel mestinya menjalankan blue ocean strategi, yaitu mencari ruang pasar baru yang belum ada pesaingnya," tegas dia.
Anggota Komisi VI DPR RI lainnya dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik menanggapi positif ditutupnya Sevel. Menurutnya, dengan ditutupnya Sevel, peluang bagi usaha kecil untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar.
"Ini poin positif. Mudah-mudahan bisa diambil masyarakat kita untuk buka warung-warung tradisional," ungkapnya kepada Merdeka.com di Jakarta.
Bagaimana tanggapan pemerintah akan fenomena tutupnya Sevel di Indonesia?
"Jadi, ambruknya Sevel murni kesalahan internal manajemennya sendiri," jelasnya kepada merdeka.com, di Jakarta.
Tutupnya gerai Sevel, lanjutnya, disebabkan konsep dan strategi bisnis yang salah. Dia bahkan menyebut konsep bisnis yang diterapkan sevel sudah usang. "Konsep yang ditawarkan oleh Sevel sudah usang dalam 2 tahun terakhir, yaitu memadukan konsep berbelanja sambil nongkrong," ungkapnya.
Strategi Sevel inilah yang menurutnya menjadi bumerang untuk pertumbuhan bisnis mereka sendiri. "Konsep dianggap baru pada saat itu, tapi ternyata konsumen maunya nongkrong lama dan belinya dengan harga murah," katanya.
"Padahal Sevel tidak mungkin berkompetisi dengan harga murah karena tidak bisa efisien seperti pesaing utama lainnya," tambahnya.
Dia juga mengatakan Sevel seharusnya sudah mencari strategi bisnis baru, bukannya bertahan pada konsep lama, yang menurutnya jelas-jelas berdampak negatif untuk perkembangan usaha.
"Jadi Sevel mestinya menjalankan blue ocean strategi, yaitu mencari ruang pasar baru yang belum ada pesaingnya," tegas dia.
Anggota Komisi VI DPR RI lainnya dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik menanggapi positif ditutupnya Sevel. Menurutnya, dengan ditutupnya Sevel, peluang bagi usaha kecil untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar.
"Ini poin positif. Mudah-mudahan bisa diambil masyarakat kita untuk buka warung-warung tradisional," ungkapnya kepada Merdeka.com di Jakarta.
Bagaimana tanggapan pemerintah akan fenomena tutupnya Sevel di Indonesia?
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku tengah menyusun formula guna menjaga persaingan sehat di pasar ritel Indonesia. Ini agar semua pelaku usaha ritel di Tanah Air, baik tradisional maupun modern, bisa bertahan hidup.
"Jadi nanti mereka wajib menyediakan satu distribusian Centre yang harga perolehan dari warung atau pedagang tradisional harus sama atau lebih rendah dari alfamart dan indomaret. Indomaret sudah dilakukan dengan ada Indogrosir di Tangerang. Prinsipnya harus berikan akses yang sama pada pedagang menegah ke bawah," katanya disela kunjungan di Pasar Sarijadi Kota Bandung.
Secara umum, lanjutnya, kondisi bisnis ritel di Indonesia saat ini cukup baik. Kendati demikian, pelaku usaha ritel tetap dituntut untuk melakukan inovasi.
"Itu kalau nggak ada inovasi dan perluasan bisa tutup," katanya. "Indomaret dan Alfamart head to head, apakah bisa kami larang dan menyebabkan karyawan kehilangan pekerjaan, kan tidak. Tapi bagaimana indomaret dan warung itu juga hidup. Itu kita cari akal."
Terkait berhenti operasinya gerai jaringan 7-eleven di Indonesia, Enggartiasto memastikan itu bukan dampak dari keputusan pemerintah melarang penjualan minuman alkohol. Dia meyakini bangkrutnya gerai waralaba asal Amerika Serikat tersebut lantaran persoalan internal.
"Nggak bisa dikaitkan itu. Tidak bisa satu toko tutup karena tidak boleh menjual satu jenis. Pihak 7-eleven tidak pernah juga disampaikan karena itu," katanya.
"Ini murni judgement dari pemegang saham, mengapa harus tutup. Karena mereka ada perhitungan sendiri. "
Meski tak akan melakukan intervensi, Menteri Enggartiasto berencana bertemu bos PT Modern Internasiona, selaku pemegang franchise 7-Eleven di Indonesia. "Dengan jumlah karyawan begitu besar, saya ingin tanya kenapa tutup? Tapi saya yakin itu murni internal saja." [merdeka]
"Jadi nanti mereka wajib menyediakan satu distribusian Centre yang harga perolehan dari warung atau pedagang tradisional harus sama atau lebih rendah dari alfamart dan indomaret. Indomaret sudah dilakukan dengan ada Indogrosir di Tangerang. Prinsipnya harus berikan akses yang sama pada pedagang menegah ke bawah," katanya disela kunjungan di Pasar Sarijadi Kota Bandung.
Secara umum, lanjutnya, kondisi bisnis ritel di Indonesia saat ini cukup baik. Kendati demikian, pelaku usaha ritel tetap dituntut untuk melakukan inovasi.
"Itu kalau nggak ada inovasi dan perluasan bisa tutup," katanya. "Indomaret dan Alfamart head to head, apakah bisa kami larang dan menyebabkan karyawan kehilangan pekerjaan, kan tidak. Tapi bagaimana indomaret dan warung itu juga hidup. Itu kita cari akal."
Terkait berhenti operasinya gerai jaringan 7-eleven di Indonesia, Enggartiasto memastikan itu bukan dampak dari keputusan pemerintah melarang penjualan minuman alkohol. Dia meyakini bangkrutnya gerai waralaba asal Amerika Serikat tersebut lantaran persoalan internal.
"Nggak bisa dikaitkan itu. Tidak bisa satu toko tutup karena tidak boleh menjual satu jenis. Pihak 7-eleven tidak pernah juga disampaikan karena itu," katanya.
"Ini murni judgement dari pemegang saham, mengapa harus tutup. Karena mereka ada perhitungan sendiri. "
Meski tak akan melakukan intervensi, Menteri Enggartiasto berencana bertemu bos PT Modern Internasiona, selaku pemegang franchise 7-Eleven di Indonesia. "Dengan jumlah karyawan begitu besar, saya ingin tanya kenapa tutup? Tapi saya yakin itu murni internal saja." [merdeka]
0 comments:
Post a Comment